Rabu, 03 Juli 2013

SEJARAH KERAJAAN DI PAMEKASAN-MADURA (RONGGOSUKOWATI)

A. Sejarah Awal Munculnya Kerajaan di Madura Pada zaman dahulu, konon Raja Majapahit mengangkat salah seorang putranya menjadi Kammi Tuwo di pesisir Madura, yakni di Kabupaten sampang yang di kenal dengan nama Ki Ario Lembu Peteng. Dalam Babad Madura disebutkan bahwa Ki Ario Lembu Peteng inilah yang menurunkan Raja-raja di madura bagian Barat, Ki Aio Lembu Peteng yang beragama budha kemudian masuk islam dan wafat di Ampel sebelum mengislamkan putra-putranya. Sebagai gantinya di angkatlah putranya yang bernana Ario Menger menjadi Kami Tuwo, dan semasa hidup ayahnya, adiknya yang bernama Ario Mengo diperintah untuk membabat hutan di sebelah timur Madegan. Oleh karena itu, ia bersama pengikutnya menyusuri selat madura bagian selatan karena jalan itulah yang mereka aggap paling aman dari binatang buas. Di suatu tempat, rombongan Ki Ario Mengo beristirahat, karena tempat yang di singgahi cukup bagus, pepohonan rindang, sejuk, dan terdapat mata air. Timbullah keinginan untuk menetap di situ, kemudian Ki Ario Mengo memeritahkan pengikutnya untuk membabat hutan adan menyuruh pengikutnya untuk membangun rumah dan pagar, yang pintunya terletak di sebelah utara (daja bahasa madura). Demikianlah berdiri keraton kecil yang di beri nama keraton lawangan daya. Keraton itu semakin lama semakin maju, akhirnya melebihi tempat kelahirannya sendiri, karena Ki Ario Mengo dapat memimpin rakyatnya dengan adi dan bijaksana, sehingga rakyat makmur dan tertur. Masyarakat yang bertempat tinggal di dekat keraton pun berduyun-menghadap untuk mengabdi kepadanya, demikian pula di antara keluarganya yang tinggal di madegan berdatangan dan menetap di Keraton Lawangan Daya. B. Asal Nama Kota Pamekasan. Ki Ario Mengo memiliki seorang putri tunggal yang bernama Nyi Banu. Mia tumbuh menjadi putri yang cerdas dan rupawan, setelah ayahnya wafat, Nyi Banu naik tahta dengan gelar Ratu Pawelingan atau Ratu Pawekasan, karena ia merupakan satu-satunya putri yang menggantikan ayahhandanya, sehingga membuat nama dan keratonya menjadi mashur, dan akhirnya keraton tersebut di kenal dengan nama keraton pamekasan. Syahdan menceritakan bahwa penggantian nama pawelingan menjadi pamekasan berasalo dari cerita Kek Lesap, sebenarnya ia adalah putra selir Pangeran Cakraningrat V, yaitu Raja Bangkalan. Akan tetapi ia tidak di akui sebagai anak kandungnya, akan tetapi dia tetap memaksakan dirinya untuk mengabdi kepada ayahnya menjadi tukang kuda keraton yang setiap hari harus menyiapkan kuda untuk kompeni belanda. Akan tetapi Kek Lesap tidak menyukai kerja sama yang di lakukan oleh ayahandanya dengan belanda sehingga dia pergi meninggalkan keraton untuk mengaji, oleh karena ia anak yang cerdas, maka dia di jadikan pembantu oleh kiainya. Pengalam pahitnya ketika di keraton dan kebenciannya terhadap belanda, akhirnya ia bertapa ke gunung Geger di daerah Arosbaya, setelah lama di sana ia pindah ke gunung Payudan di daerah Guluk-guluk Sumenep. Di tempat baru inilah berbulan-bulan ia tidak keluar, ia menyatukan diri dengan Yang Maha Pencipta dengan jalan melupakan makan, minum dan tidur. Kek Lesap kemudian memiliki kekuatan batin dan memperoleh senjata ampuh berupa celurit kecil yang di beri nama Kodhi’ Crangcang. Yang dengan senjata itu dia tidak takut untuk melawan belanda yangtelah menguasai bupati di daerah madura, dan dia tidak merasa hawatir untuk melawan senjata milik ayahnya. Setelah Kek Lesap turun dari pertapaanya, ia mempengaruhi pendduk Gulu-guluk dan sekitarnya untuk melawan kompeni belanda dan keraton sumenep, mendebgan maksud Kek Lesap itu, Raden Alza yang bergelar Pangeran Cokro ningrat III, yakni Raja Sumenep hawatir untuk melawanyan, dia lari meloloskan diri untuk meminta bantuan kepada kompeni belanda di surabaya. Di sumenep tidak ada perlawan, sehingga Kek Lesap dapat menguasai keraton sumenep dengan mudah, peristiwa itu terjadi pada tahun 1750. Dari laporan Raden Alza tersebut, kemudia Kompeni belanda mempersiapkan pasukannya di madura barat. Dari sumenep Kek Lesap pergi ke arah barat, kebetulan bupatinya (Adikoro IV)sedang pergi melaporkan ke semarang dan dalam perjalanan pulang dia singgah di rumah mertuanya (Cakraningrat V). ia hanya memberi pesan kepada patihnya untuk diberitahukan bahwa daerah kekuasaan Radel Alza telah di tahlukkan. Dari pesan inilah agaknya kata Pawekasan menjadi Pamekasan. C. Keraton Mandilaras Setelah pangeran Lendhu wafat, hampir seluruh rakyat pamekasan sudah memeluk islam, kemudian Pangeran Ronggosukowati naik tahta pada tahun 1530. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, beliau merekontruksi kota pamekasan hingga setaraf dengan kota-kota yang lain, hasil karyanya yaitu: 1. Keraton Mandilaras dan gedung Pemerintahan, sejak pemerintahan Pangeran Ronggosukowati inilah terbentuknya suatu pemerintahan yang terorganisir, tertib dan teratur. 2. Masjid jamik sebagai tempat peribadatan. 3. Tangsi (asrama) Prajurit di sebelah timur keraton, sebagai tempat pendidikan para pemuda dan calon prajurit yang tangguh. 4. Rumah Penjara yang tempatnya agak jauh dari keraton. 5. Jalan silang di tengah-tengah kota Pamekasan, dan di sebelah timurnya ada kebun Raja. 6. Makam umum yang berada sebelah utara agak jauh di belakang keraton. 7. Kolam ikan yang diberi nama Si Ko’ol. Dengan adanya keraton Mandilaras tersebut Pamekasan menjadi semakin mashur, banyak masyarakat yang mengagung-agungkan keindahan ndan kemegahannya, Selain itu Pangeran Ronggosukowati memiliki keris yang sangat ampuh, yang konon menurut salah satu sumber lisan menyebutkan bahwa keris tersebut merupakan pemberian dari mahluk ghaib (sebangsa jin), dalam sebuah riwayat bahwa Pangeran Ronggosukowati selama tujuh hari kedatangan pemuda yang membawa bagian-bagian keris, pemuda tersebut tidak mau menyebutkan nama dan tempat asalnya, setelah pemuda tersebut selesai memberikian bagian keris kepada Pangeran, pemuda tersebut langsung menghilang. Setelah bagian keris tersebut terkumpul, Pangeran Ronggo sukowati memanggil seorang empu keris yang tersohor untuk merakit bagian-bagian keris itu, setelah selesai terbentuklah sebilah keris yang berpamor “tunggal kukus” yang di beri nama keris “Joko Piturun”. Menurut keteran salah seorang juru kunci pemakaman ronggosukowati, bapak H. Tahir menyebutkan, bahwa keris itu terbang mendatangi makam panembahan Ronggosukowati pada malam hari tiap waktu tertentu kembali ketika henda fajar. Menurutnya, bahwa dahulu keraton dari bangkalan berniat untuk menjajah kota pamekasan, dalam artian keraton bangkalan ingin mengambil keris Joko Piturun yang merupakan paku bumi Pamekasan, Akan tetapi tidak berhasil. Sehingga menyebabkan pangeran Lemah Duwur meninggal. Menurut keterangan lain, wafatnya pangeran Lemah Duwur dikarenakan kesalah fahaman dengan Pangeran Ronggosukowati. ketika Pangeran Lemah Duwur pergi berkunjung ke keraton mandilaras, di sana beliau dan pengikutnya di sambut dengan sangat baik, Pangeran Lemah Duwur yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Pangeran Ronggosukowati. Pergi berkeliling keraton untuk melihat kemegahan keraton mandilaras. Setelah agak lama berada di Pamekasan, karena perjalan kembali cukup jauh, maka keluarga Keraton mempersilahkan rombongan Pangeran Lemah Duwur untuk bermalam di pamekasan, Pangeran Ronggosukowati mempersilahkan rombongan tersebut beristirahat di pesanggrahan yang letaknya tidak jauh dari kolam si Ko’ol. Karena hanya kolam itu yang belum di lihat oleh Pangeran Lemah Duwur, kemudian ia mengajak rombongannya untuk melihat kolam itu tanpa sepengetahuan Pangeran Ronggosukowati karena beliau masih ada dalam keraton, Sesampainya di kolam tersebut beliau meminta izin kepada penjaganya untuk masuk melihat-lihat, akan tetapi penjaganya tidak memperbolehkan masuk tanpa izin dari Pangeran Ronggosukowati. Kemudian penjaganya tersebut pergi menemui Pangeran Ronggosukowati yang ada di keraton untuk meminta izin, tapi Pangeran masih tertidur, sehingga penjaganya merasa sungkan untuk membangunkannya, karena menunggu sangat lama, Pangeran Lemah Duwur merasa bahwa Pangeran Ronggosukowati tidak mengizunkannya untuk masuk ke kolanm itu, akhirnya rombongan tersebut pulang tanpa sepengatuhan Pangeran Ronggosukowati. Pangeran Ronggosukowati marah dan kecewa langsung menghunuskan kerisnya karena merasa hal itu merupakan suatu penghinaan, kemudian Pangeran Ronggosukowati segera bergegas menyusulnya, di tengah perjalan Pangeran Ronggosukowati bertemu dengan adiknya yang menjadi adipati sampang. beliau memberitahukan maksudnya kepada adipati Madegan, kemudian adipati tersebut menyarankan agar Pangeran Ronggosukowati mengurungkan niatnya dan beristihahat di Madegan. Karena ia menuruti nasehat adiknya, Beliau hanya menusukkan kerisnya pada pohon waru seraya mengatakan, “ wahai pohon waru, sebenarnya aku tidak bermaksud membunuhmu, akan tepapi dengan keris sakti Joko Piturun ini kubunuh Pangeran Lemah Duwur. Pada malam itu juga Pangeran Lemah Duwur bermimpi kejatuhan keris Ronggosukowati yang menancap di punggungnya, ajaib sekali ketia bangun, badannya terasa panas yang di sebabkan oleh bisul kecil di punggungnya, bisul itu semakin lama semakin memerah dan membesar, keesokan harinya di seluruh madura tersia bahwa Pangeran Lemah Duwur telah wafat. Mendengar hal itu Pangeran Ronggosukowati merasa mesnyesal dan membuang keris saktinya ke kolam Si Ko’ol, setelah keris itu menyentuh air, terdengar suara ghaib “Pangeran Ronggosukowati, sayang engkau membuangku, kalau tidak, pasti pulau jawa akan berada di bawa kekuasaanmu,” Kemudian pangeran menyuruh semua orang untuk mencari keris itu, akan tetapi keris itu hingga sekarang belum di temukan. D. Pemakaman Panembahan Ronggosukowati Jika kita mengunjungi pemakaman Pangeran Ronggosukowati yang terletak di jalan Ronggosukowati tepat di sebelah baratnya pasar kolpajung (yang dulunya merupakan lokasi kolam seko’ol). Maka di lihat dari gerbangnya saja sudah di ketahui bahwa lokasi itu merupakan tempat keramat, dari corak arsitekturnya terdapat ornamen cina seperti ukiran buka teratai emas yang terletak di pintu gerbang luarnya, dan atap nya lebih condong kepada corak hindu. Setelah masuk lebih dalam sedikit, maka terdapat banyak sekali makam, akan tetapi itu semua merukan areal pemakan umum, kecuali memang ada beberapa kuburan kuno, salah satunya yakni kuburan yang berada di pojok sebelah timur, yang merupakan kuburan Kyai Pamorogen, Belia merupakan guru ngaji Putra Pangeran Ronggosukowati, selanjutnya lebih kedalam lagi, akan ada gapura yang berdiri kokoh, bentuk gapura di bagian dalam hampir mirip dengan gapura peninggalan majapahit, hal itu tidak mengherankan karena keraton Mandilaras merupakan kerajaan islam bernuansa Majapahit. nah di lokasi itulah para putra Pangeran Ronggosukowat di makamkan, yakni di sebelah barat adalah makam Raden Jimat, kemudia di tengah merupakan makam Raden Pacar, kemudia agak ketimur sedikit, adalah makam Pangeran Purboyo. Pangeran Agung Zimat dan Raden Ayu Pacar adalah Putra Pangeran Ronggosukowati dengan Ratu Inten atau Raden Ayu Kumala Intan yang merupakan keturunan Raden Paku atau Sunan Giri, akan tetapi Raden Ayu Pacar wafat di usia muda, sehingga tidak dapat meneruskan perjuangan Ayahandanya. akam PangeraMn Agung Zimat Jika kita perhatikan makam Pangeran Agung Zimat dan Raden Ayu Pacar, akan nampak jelas peninggalan prasasti Majapahit yang merupakan kerajaan bercorak Hindu-Budha, dari ukiran badan makam yang menyerupai ornamen candi. tapi, bentuk nisannya sudah bercorak islam, begitupun dengan makam Raden Ayu Pacar, meski sudah ada bagian yang rusak karena di makan usia, tapi peninggalan sisa-sisa majapahitnya masih nampak jelas. Dari kedua makam putra Pangeran Ronggosukowati tersebut memiliki corak hindu dan islam, kecuali makam Raden Purbaya, yang sudah bernuansa islam. Menurut keterangan Juru Kunci pemakaman, H. Tahir; Pangeran Purboyo merupakan keturunan Pangeran Ronggosukowati dengan seorang Selir yaitu Rato Ebu Bangkalan. Akan tetapi keterangan ini sangat lemah, dan ada kemungkinan keliru. Karena menurut sumber sejarah lain, salah satunya Babad Sampang, di dalamnya terdapat keterangan bahwa Ratu Ebu atau yang kita kenal dengan sebutan Syarifah Ambami merupakan Istri Pangeran Cakraningrat I, berikut akan kami paparkan skema silsilah Panembahan Ranggasukowati. SILSILAH PANEMBAHAN RONGGOSUKOWATI Pangeran Ronggosukowati memiliki hubunagn darah dengan Ken Arok (1222-1247) Raja Singosari dengan gelar Rajasa Sang Amuwabumi dan merupakan keturunan Raja Majapahit pertama, yakni Raden Wijaya (1328-1350) yang bergelar Kertarajasa Jayawadhana. Jadi sangat wajar ketika Mataram berhasil menguasai Majapahit, dan hendak meperluas daerah kekuasaannya. seluruh kerajaan di Madura termasuk salah satunya adalah Pamekasan tidak mau tunduk dan tetap mempertahankan kekuasaan dan budaya Majapahit sebagai budaya warisan, bersatunya seluruh kerajaan di Madura dilatar belakangi karena semua Raja tersebut masih memiliki hubungan kekeluargaan, yakni sama-sama keturunan Majapahit Selanjutnya akan kita temui gapura ketiga, yaitu tempat raja Ronggosukowat berserta Istrinya Ratu Inten dimakamkan, letak makam Raja terletak di tengah, bentuk arsutektur kuburannya pun berbeda dengan kuburan yang lain, hal ini dimaksudkan untuk membedakan kuburan Raja dengan kuburan yang lain dan sebagai bentuk penghormatan kepada sang Raja. kuburan Panembahan Ronggo sukowati terletak lebih tinggi dan berada dalam bagunan yang dihias oleh ukiran kayu. bentuk makamnya terlihat amat besar dan megah seperti tiga buah makam yang di satukan secara bertingkat, bentuk arsiteknya bercorak hindu dan islam, corak hindu terpat pada bentuk badan makam, dan corak keislamannya di ketahui dengan melihat batu nisannya. Makam Panembahan Ronggosukowati Di sebelah kanan makam Panembahan Ronggosukowati terdapat makam istrinya, yakni Ratu Inten. Yang sudah bercorak islam. Makam Raden Ayu Kumala Intan (Ratu Inten) Penempatan makam tersebut bukan tanpa alasan. Jika kita lihat secara keseluruhan, maka dapat diketahui bahwa penempatan letak maka-makam tersebut seperti barisan perang atau posisi catur, dimana prajurit diletakkan di bagian depan, selanjutnya merupakan barisan para panglima, patih atau Putra Mahkora, selanjutnya di bagian akhir merupakan posisi Sang Raja.