Sabtu, 01 November 2008

CATATAN HATI ......


Aku mengejar bulan, kuintip diam-diam.
Tapi ia selalu sembunyi di balik awan bisu & kesunyian.
Detak jam dinding adalah bakti dari letih pencarian.
Sedang dirimu adalah puisi tak terbaca dari negeri khayalan…

Cinta itu melampaui panca indra, tempat dan suara-suara. menyapa hatimu yang terbuka lewat denyar nada yang semburat di semesta diam tanpa kata-kata. maka dengarlah dalam diammu dan tidurmu, dengan kesadaran yang murni dan ketenangan, ketika cinta datang bertamu bertemu. Jangan takut dan bosan dengan cinta itu, sebab ia adalah bahasamu; bahasa jiwa, hati, dan tubuhmu. Ia sendiri yg akan mengerti dirimu, aku, dan dirinya sendiri..

Ia bukanlah gadis mendadakku seperti dalam kisah roman picisan atau sinetron zaman sekarang, sebab cinta adalah anak akar kebudayaan, bukan batu dari langit. Ia buah pencaharian akan makna hidup & “kehadiran” yg begitu dalam & lain. Ialah, bunga yg kupilih dalam pencaharian panjang tidak dengan keraguan, meski dengan diam-diam & malu-malu khas lelaki zaman dulu..

Kau di mana saat rindu ingin bertemu? Akh, aku takut membawa rindu dan malu bertamu sebab kamu sudah jadi milik cemburu. Aku di mana dengan rindu yg lain dan cemburu yg juga lain? Akh, kau menggigil di balik gigir waktu dan lari ke karat masa lalu…

Aku melihat sepasang rindu terdiam, menatap, terbang bahagia. Begitu banyak senyum tertahan walau udara tak seindah senja. Aku mulai merindu awal dunia, dimana antar sesama rindu tidak berubah lain dan getir. Semua nafas ada mengucap ingin dalam seru yang tak lagi asing. Aku merindu bahagia rindu yang lain…

Semakin berjarak jalan sepanjang rumah kita, tak ada suara tak ada kata-kata. hanya saja setelah pergi hati semakin dekat dan sunyi sungguh berarti. Lalu dimana rindu kutinggal atau kemana kubawa pulang? akh, sama saja! Kini aku selalu gugup sebab ada rasa yang tak ingin redup. Rasa yang mesti kujaga tuk menemukan sendiri dunia percaya di hatinya…

Aku merengkuh segenap rapuh, membiarkannya tumbuh meski dengan nafas sisa. Aku menimba segala duka, membuatnya merembesi jiwa dan mengekal dalam tubuh. Sebab aku juga percaya bahwa cahaya ada dalam gelapnya, sebagaimana kesedihan adalah juga kehidupan, meski hanya penghidupan akan nama-nama yg sengaja ditenggelamkan, yang berakhir pada ucapan belasungkawa semata iba.

Cinta itu cuma sayang yang sangat. Cuma itu,
hanya sayang yang sangat!”

Dari pantai, deru angin dan gemuruh ombak seakan mengisyaratkan bahwa tidak sesederhana senyum nelayan itu, tuk memahami hati seseorang. Sebab ia selalu diam dari segala penjuru dan tetap saja rahasia bagi orang lain dari mana asal rindu datang. Ah, meski kapal-kapal ada tambatan di tepian, masih saja sunyi yang mengalahkan diriku dari segala kemungkinan tuk melabuhkan harapan. Aku membawa ikan-ikan rindu, tapi ragu pada siapa kan kuhidangan, padahal matahari sudah mulai tenggelam dan membatasi jarak pandang…

Aku tau, kuncup keraguan selalu datang karena malam sudah terlalu lama tertusuk hujan, dan aku selalu tersesat dalam pengembaraan-pengembaraan panjang. Tak ada ruang buat airmata, hanya sedikit luka tersisa di antara prahara-prahara. Ah, tanpamu tak ada lagi dunia dan perjalanan ini ku akhiri dengan sia-sia...

Selalu kemarau yang melintas di hatiku dan menumbuhkan semacam tanaman liar yang tak ingin kusemai. Bukan bunga dari segala indah bunga yang kuinginkan, meski hujan menggenang di luar tubuhku, sedang kemarau yang kutolak memaksa masuk melalui pori-pori dan benar-benar tinggal di hatiku. Rupanya musim tak pernah bersahabat dengan angan dan inginku, membuatnya tumbuh sekaligus binasa yang tak sudah-sudah, di mana aku ada yakin dan juga ragu…

Tak ada dan tidak perlu ada airmata karena cinta. Sebab aku tidak lagi menangis karena ditinggalkan, dikhianati, atau karena dikalahkan. Musim telah lama gugur, pohon-pohon pasti meranggas, dan tanah bisa retak. Aku sudah terlalu tua, sudah tidak punya cukup waktu tuk menangisinya. Aku sudah gila dengan sakitnya cinta dan dengan segala keyakinannya. Kita seperti bertemunya sungai dan muara, yang bisa saling mengisi sekaligus bisa saling melepaskan dan di hatiku tak tersisa kebencian. Jangan takut salah menerka, batas antara mimpi dan kenyataan…

Aku ingin belajar dari sisa-sisa dan sia-sia kekalahan, meski kadang alam sendiri menyerah putus asa. Aku mencoba tabah dan bersemangat muda, meski kau selalu acuh dan perkasa saja. Sebab padaku ada menunggu! Biar musim, bunga rumput, dan ilalang dan kau biar ragu, biar terbakar segala waktu dan rindu. Biar pada aku yang lemah, aku yang jatuh, terbakar angan tertunggu ingin. Sebab ia pasti membuncah dan menumbuh tunas-tunas baru, sebelum jemu menyerbu dan semuanya kuyu layu…

Hatiku hidup dan berdetak tapi semuanya jadi kaku. Orang-orang lalu lalang tetap saja suasana beku. Semuanya hanya sunyi mengental di mana aku gemetar. Aku seakan mati tiada nadi. entah apa ini?

Tanpa kusadari dia yang membuatku merubah hidupku, tapi dia takkan pernah tahu aku melakukan untuknya semua ini. Hingga pada sajak yang tak pernah tahu ini kukalungkan untuknya mimpi-mimpi…


Di hatiku ada rindu yang tak bisa mati sebab terlanjur memberi nadi dan mengguyur tubuhku dengan hujan-hujan sepi. Tapi, aku tetap menunggu reda sampai terdengar ia bersuara…

Aku gemetar malam itu, ketika tuk pertama kalinya aku melihatnya tersenyum malu di antara yang lain begitu lain. Dan aku hanya bisa berkata dalam hatiku: ia indah, ia adalah nuansa dari proses penciptaan keindahan. Maka sejak itu aku sering mencuri pandang memperhatikannya dari jauh. Kini, ingatan itu masih juga sama dan tak pernah bisa berlalu dari hatiku..

Embun terbangun oleh fajar yang menanti dan berkata; tak apa kau tidak menemani tidurku, sebab terbangun pun aku masih dalam rindu yang sama, dan kau memelukku dengan sinar mesra hingga pagiku tak sia-sia…”

Bersamamu adalah sepenuhnya diriku, memupuk rindu pada hati terdalam, tak tersisa lagi kecuali dirimu yang menyatu dalam diam dan seruku. Maka dengan caraku sendiri aku berbagi nasib dan kesunyian, dalam kepercayaan yang satu; mencintaimu!

Kasih adalah tempat aku berharap, ia mau berbagi darah dari lukanya, airmata dari tangisnya, peluh dari letihnya, sakit dari jatuhnya, kering dari jiwanya…Tempat aku berbagi bianglala bagi langit mendungnya!

Pada malam yang bungkam, masih ada rupanya, suara lirih rindu yang memendam keinginan. Ia menunggu, mengintai dengan sabar, setiap yang memastikan kapan ia boleh datang. Rindu semakin rindu, tapi kabar smakin buram, tak terbaca pada alamat kota-kota, tak sampai pada pertemuan nama-nama. malam menenggelamkannya pada samudera, cuaca sungguh lirih, perih yang tak tertangkap rupa.

Aku diam sehening ruang hampa udara, makin sekali hatiku ikut hampa. Selama ini aku merasa telah cukup berlari, rentetan waktu berjalan tergesa namun tak kunjung kusampai ke tepi.

Pagi adalah awal membuka mata yang selalu berujung pada cahaya yang menembus kulit, melintasi sendi, lalu mengekalkan ruang hatiku. Siang adalah perjumpaan tubuh dan jiwa yang memotret cinta dalam semangat lanskap-lanskap zaman, perjalanan dan perjumpaan cerita dalam tanya kesemestian. Malam adalah pengekalan sunyi, angin-angin rindu yang menggigilkan ingatan dalam ornamen yang berisi pelafalan cinta akan nama abadi!