Sabtu, 28 Juni 2008

Mencintai Diri Sendiri

Mencintai Diri Sendiri

Oleh

Moh. Agussalim el Bahri

"Mencintai diri sendiri,

Memahami bahasa hati, dengan menegakkan kepala,

berarti menjulang mencapai ujung...

Mencintai diri sendiri,

Mencerna seribu makna, dengan tatapan setajam elang,

berarti maju, bergerak dan mengebiri kemalasan...

Mencintai diri sendiri,

dan berbangga dengan perjuangan yang telah dilakukan,

berarti berucap: Alhamdulillah"


asilearning - Menjadi baik dalam segalanya adalah dambaan tiap orang. Menjadi antik,lembut, ramah, baik hati, bijaksana, lapang dada, dermawan,menyenangkan, sabar, tegar, cerdas, pintar, menarik hati, enak dipandang, enak dijadikan teman curhat dan semua kebaikan lainnya

Berbahagialah mereka yang mewarisi gen-gen kebaikan dari orang tuanya. Berbahagialah mereka yang dibesarkan dalam lingkungan yang baik. Berbahagialah mereka yang mendapatkan pendidikan yang baik dari orang tua dan sekolahnya. Hingga ia tumbuh dewasa dalam kebaikan, tanpa pergolakan jiwa yang berarti, tak perlu lagi menghadapi dilema dan menyesali perjalanan hidupnya sendiri.

Namun bagaimana dengan mereka yang menjalani proses hidup sebaliknya? Rasanya begitu berat. Begitu pedih. Begitu nyeri. Begitu menyesakkan. Saat kebencian itu hadir. Saat ketidak sukaan melingkupi. Saat ketidak mengertian memenuhi. Saat ketidak berdayaan menghantui. Terhadap diri sendiri. Mengapa aku buruk rupa? Mengapa keluargaku berantakan? Mengapa aku tidak cerdas? Mengapa aku selalu gagal? Mengapa aku tidak disukai teman-temanku? Mengapa perjalanan hidupku seperti ini? Mengapa aku selalu naif? Mengapa aku selalu salah? Mengapa? Dan banyak mengapa lainnya...

Ketika semua perasaan itu hadir dan melibas diri, hidup menjadi sangat sulit. Dunia menjadi teramat gelap. Hingga segala tentang diri kita pun terasa bernuansa pekat. Kita buruk dan hanya orang lain yang baik. Dan kita pun ingin terbang, pergi dan menjadi orang lain atau malah terpuruk saja di dalam bumi.

Pernahkah kemudian kita terpikir: Betapa kasihan 'makhluk kecil' di dalam sana.Sesosok 'diri' yang disadari atau tidak, dibenci oleh dirinya sendiri. Mungkin jasad sang diri memang tidak cakep. Mungkin pribadi sang diri memang tidaklah menyenangkan. Mungkin perjalanan hidup sang diri cukup menyebalkan. Namun sang diri tetap butuh cinta. Agar dengannya dia tumbuh dan berkembang ke arah kebaikan. Berapa banyak cerita tentang seseorang yang berubah menjadi lebih baik karena merasa dicintai? Berapa banyak orang yang termotivasi karena dicintai?

Betapa banyak orang yang ingin diterima apa adanya? Dicintai setulusnya? Dan

cinta itu, at very first, hanya pemilik 'diri' lah yang harus memberikannya. Jika bukan kau, siapa lagi? Engkau yang paling mengerti dirimu sendiri. Maka engkau lah yang paling layak, paling berhak dan paling berwenang mencintai dirimu sendiri.

Cintailah dirimu sendiri. Beri penghargaan. Beri pujian untuk keistimewaan-keistimewaan dalam dirimu sendiri Terimalah ia apa adanya. Pahami kelemahan-kelemahannya. Lihat kembali perjalanan hidupmu ke belakang. Mungkin kau akan melihat banyak kesalahan. Mungkin kau akan menemukan banyak kenaifan.

Mungkin kau akan menjumpai banyak hal memalukan. Mungkin kau akan menemukan banyak kegetiran. Ketidaksukaan. Seperti halnya kau ingin orang lain menerima dirimu apa adanya, maka kau harus memulainya dari dirimu sendiri. Terimalah

dirimu apa adanya. Cintai ia. Sungguh cinta itu akan menjadi kekuatan besar untuk membangun diri.

Cinta itu, akan mengarahkan jiwamu terus menerus bergejolak. Cinta itu akan mewadahi hatimu terus menerus bergolak. Cinta itu akan mendamaikan perasaanmu yang tak pernah berhenti dan mati. Cinta itu akan membuatmu terus berusaha memperbaiki diri. Cinta itu akan membuatmu bangga dengan perjuangan yang telah kau lakukan. Cinta itu akan menjagamu dari membandingkan diri dengan orang lain serta lebih memilih membandingkan diri sendiri yang sekarang dengan beberapa waktu serbelumnya.

Maka kemudian dirimu akan sanggup berkata, "Mungkin aku yang sekarang masih belum sebaik orang pada umumnya. Mungkin aku yang sekarang belum sebaik manusia muslim yang sesungguhnya. Tapi aku tahu aku yang sekarang adalah aku yang lebih baik dari aku sebelumnya. Dan aku bangga karena untuk menjadi aku yang sekarang kulewati dengan penuh air mata. Aku bangga dengan diriku yang sekarang karena aku telah menempuh prosesnya."

Jika tak ada yang mencintaimu kini, bisa jadi itu karena engkau bahkan tak mencintai dirimu sendiri. Karena itu, cintailah dirimu sendiri. Karena dari sana kau akan bisa mencintai dan dicintai orang lain.


SEPERTI APAKAH ORANG YANG BENAR ITU?

SEPERTI APAKAH ORANG YANG BENAR ITU?

Oleh

Moh. Agussalim el Bahri

Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk hidup sebagai orang yang teguh dan ikhlas kepada Allah dalam agama mereka.

"Kecuali orang-orang yang tobat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar." (an-Nisaa` [4]: 146)

Seorang manusia menjadi bersih hatinya jika ia teguh karena Allah, mengabdikan hidupnya untuk mendapatkan keridhaan-Nya dengan menyadari bahwa tidak ada penuhanan kecuali kepada Allah, dan tak pernah menyerah dalam keimanan kepada Allah, apa pun yang terjadi. Allah memerintahkan di dalam Al-Qur`an sebagai berikut.

"... Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus." (Ali Imran [3]: 101)

Dalam agama, ikhlas kepada Allah berarti berusaha mendapatkan keridhaan Allah dan kepuasan-Nya tanpa mengharapkan keuntungan pribadi lainnya. Allah juga telah menekankan pentingnya hal ini di dalam ayat lainnya. Ia telah menunjukkan bahwa agama hanya dapat dijalankan dalam sikap berikut.

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (al-Bayyinah [98]: 5)

Dalam perbuatan dan ibadahnya, seorang mukmin sejati tidak pernah berusaha untuk mendapatkan cinta, kepuasan, penghargaan, perhatian, dan pujian dari siapa pun kecuali Allah. Adanya keinginan untuk mendapatkan semua itu dari manusia adalah tanda bahwa ia gagal menghadapkan wajahnya kepada Allah dengan keikhlasan dan kesucian. Dalam kenyataan, kita sering menemukan orang yang "melakukan perbuatan-perbuatan baik atau melakukan ibadah untuk tujuan-tujuan lain selain mendapatkan keridhaan Allah". Sebagai contoh, ada orang yang menyombongkan diri karena menolong kaum miskin atau bermaksud mendapatkan kehormatan saat ia melakukan perintah agama yang penting, seperti shalat. Orang-orang yang mendirikan shalat, melakukan kebaikan supaya terlihat, disebutkan di dalam Al-Qur`an,

"Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (al-Baqarah [2]: 264)

Siapa saja yang menginginkan supaya dirinya terlihat menonjol, sebenarnya ia mencari keridhaan orang lain, bukan Allah. Seorang mukmin sejati harus benar-benar cermat menghindarkan dirinya untuk pamer saat menolong orang lain, bertingkah laku baik, beribadah, ataupun berkorban. Satu-satunya tujuan orang yang ikhlas beriman kepada Allah hanyalah mendapatkan keridhaan Allah. Al-Qur`an juga menekankan bagaimana para nabi menjalankan ritual-ritual keagamaan demi keridhaan Allah dan tidak pernah mengharapkan balasan ataupun keuntungan pribadi. Kalimat berikut diucapkan oleh Nabi Hud a.s. kepada kaumnya untuk meyakinkan kebenaran ini.

"Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lan hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan(nya)?" (Hud [11]: 51)

Seorang mukmin tidak pernah berusaha mendapatkan keridhaan siapa pun selain Allah. Ia tahu pasti bahwa Allahlah yang memiliki dan mengenggam semua hati dan bahwa semua manusia akan ridha hanya jika Dia ridha. Lebih jauh, tidak ada pujian apa pun di dunia ini yang akan menyelamatkan dirinya di akhirat. Pada hari pembalasan, setiap orang akan berdiri sendiri di hadapan Allah dan ditanyai atas setiap perbuatannya. Pada hari itu, keimanan, kesalehan, keikhlasan, dan kepatuhan akan memainkan peran yang penting. Nabi Muhammad saw. mengingatkan orang-orang beriman akan pentingnya keikhlasan,

"Allah menerima perbuatan yang dilakukan secara murni karena Allah dan bertujuan untuk mencari keridhaan-Nya." 1

Berpaling kepada Allah dengan Penyesalan dan Keikhlasan dalam Niat dan Perbuatan

Allah mengatakan kepada para mukmin sejati tentang keimanan yang murni,

"Dengan kembali bertobat kepada-Nya dan bertaqwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah." (ar-Ruum [30]: 31)

Allah meminta kita untuk memperhatikan ayat lain yang menyatakan bahwa jalan yang benar untuk diikuti adalah jalan yang dilalui oleh para nabi dan orang-orang yang saleh.

"... dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (Luqman [31]: 15)

Berpaling kepada Allah dengan pengabdian sepenuh hati berarti mencintai-Nya dengan sebenar-benar cinta, sehingga seseorang tidak dapat menjauh dari keimanan, pengabdian, dan kesetiaan dalam kondisi apa pun, dan memiliki rasa takut kepada-Nya dan hati-hati menjaga agar tidak kehilangan keridhaan-Nya. Dengan demikian, setiap orang yang beriman dan tunduk patuh kepada Allah akan mendirikan shalat dan mengerjakan amalan lainnya untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Sebagai kesimpulan dalam hal ini, yang merupakan dasar penyucian diri, seorang mukmin sejati adalah, "Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka...." (Hud [11]: 23)

Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menunaikan perintah-Nya dan melakukan ibadah yang telah diuraikan di dalam Al-Qur`an, dengan penuh kepatuhan, keikhlasan, dan hati yang dimurnikan hanya untuk-Nya. Dalam sebuah ayat dikisahkan bagaimana Allah mengingatkan Maryam a.s. untuk mematuhi-Nya dengan pengabdian sepenuh hati,

"Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk." (Ali Imran [3]: 43)

Hal ini juga dinyatakan oleh Nabi saw., "Kebaikan dan kenikmatan adalah bagi orang yang menyembah Tuhan-Nya dengan sebaik-baik kepatuhan dan melayani Tuhannya dengan tulus ikhlas." 2 (HR Imam Bukhari)

Allah juga memberikan kabar gembira bahwa mereka yang menaati-Nya dengan pengabdian sepenuh hati dan mematuhi perintah-Nya dengan ketundukan, akan diberi ganjaran yang berlipat ganda.

"Dan barangsiapa di antara kamu sekalian (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezeki yang mulia." (al-Ahzab [33]: 31)

Karakter mukmin yang sejati-sebagaimana disebutkan dalam ayat di bawah ini-dicontohkan dengan sangat baik oleh para nabi untuk mengingatkan manusia,

"Orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur." (Ali Imran [3]: 17)

Al-Qur`an berisi banyak ayat yang menekankan fakta bahwa para nabi adalah orang yang berpaling kepada Allah dengan pengabdian yang tulus. Mereka adalah hamba-hamba-Nya yang suci. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut.

"Sesungguhnya, Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan)." (an-Nahl [16]: 120)

"Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya, Kami telah menyucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlaq yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat." (Shaad [38]: 45-46)

"Sesungguhnya, Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah." (Hud [11]: 75)

"Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam Al-Kitab (Al-Qur`an) ini. Sesungguhnya, ia adalah seorang yang dipilih dan seorang rasul dan nabi." (Maryam [19]: 51)

"Dan (ingatlah) Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat Tuhannya dan kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat." (at-Tahrim [66]: 12)

Percaya kepada Allah dengan Menunjukkan Pengabdian yang Tinggi

Orang-orang yang beriman yang mencapai tingkat kesucian yang didefinisikan dalam Al-Qur`an, yakin kepada Allah "dengan menunjukkan rasa khidmat yang mendalam". Ini berarti mereka mengerti akan kebesaran dan kekuatan Allah. Karenanya, ia merasakan cinta yang mendalam, pengabdian yang murni, dan rasa takut, dengan tidak pernah meninggalkan kesempatan untuk mendapatkan keridhaan-Nya demi keuntungan duniawi. Keikhlasan adalah mengetahui bahwa tidak ada keuntungan duniawi, kecil ataupun besar, yang dapat menjadi lebih penting daripada mendapatkan ridha dan menjalankan perintah-Nya. Di dalam Al-Qur`an, kualitas orang-orang yang benar itu dijelaskan sebagai berikut.

"... mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit...." (Ali Imran [3]: 199)

Sebagaimana didefinisikan di dalam Al-Qur`an, orang-orang yang benar tak pernah membuat perhitungan dalam menjalankan perintah Allah dan larangan-Nya, tak peduli apa pun kondisinya, sesuai dengan apa yang diminta ayat Al-Qur`an tersebut. Semua rasa takut yang penuh khidmat dan pengabdian mendalam yang dirasakan jauh di dalam hati seseorang, menjauhkan dirinya dari sikap dan perbuatan yang tidak disukai oleh Allah, dan juga mendorong seseorang untuk lebih bersemangat untuk menyerap keseluruhan moralitas yang diridhai oleh Allah. Di dalam Al-Qur`an, rasa takut yang ditunjukkan oleh orang-orang beriman kepada Allah disebutkan dalam ayat berikut.

"Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk." (ar-Ra'd [13]: 21)

Di dalam ayat lainnya, orang-orang beriman disebutkan sebagai orang yang memiliki pengabdian yang penuh khidmat kepada Allah dan semakin bertambah ketika mereka mendengar ayat-ayat Allah,

"Katakanlah, 'Berimanlah kamu kepada-Nya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah).' Sesungguhnya, orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur`an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Dan mereka berkata, 'Mahasuci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.' Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk." (al-Israa` [17]: 107-109)

Pengabdian penuh khidmat telah dideskripsikan di dalam Al-Qur`an sebagai sebuah contoh bagi orang-orang beriman,

"... Sesungguhnya, mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami." (al-Anbiyaa` [21]: 90)

Hal lain yang disebutkan dalam ayat yang sama adalah bahwa orang-orang beriman yang ikhlas itu berlomba-lomba dalam mengerjakan amal baik untuk mendapatkan keridhaan Allah. Orang-orang ini berjuang terus-menerus-hingga batas kekuatan dan yang mereka miliki-agar berhasil mendapatkan keridhaan, rahmat, kasih sayang, dan surga Allah.

Patuh Mengabdi kepada Allah

Allah menggarisbawahi pentingnya kualitas ketundukan bagi orang beriman,

"Katakanlah (hai orang-orang mukmin), 'Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkannya kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.'" (al-Baqarah [2]: 136)

Keikhlasan sejati membutuhkan ketundukan dengan penyerahan total kepada Allah. Akan tetapi, ketundukan ini haruslah tidak bersyarat. Seseorang yang ridha kepada ketentuan Allah, tetapi hanya bersyukur dan berserah diri kepada Allah dalam kondisi tertentu saja, tidak dapat dikatakan berserah diri jika ia menjadi pemberontak dan tidak patuh saat kondisinya berubah. Sebagai contoh, orang yang memiliki hubungan bisnis yang baik dan mendapatkan sejumlah uang. Ia sering kali mengatakan bahwa Allahlah yang mengizinkan kondisi kekayaan dan keberuntungannya. Tetapi saat segalanya memburuk, ia tiba-tiba berbalik dan melupakan kepatuhannya kepada Allah. Sifatnya tiba-tiba berubah dan ia mulai mengeluh terus-menerus dan mengatakan bahwa ia adalah orang yang baik, bahwa ia tidak seharusnya mendapat musibah, dan ia tidak mengerti sama sekali mengapa segalanya terjadi demikian buruk. Ia bahkan melewati batas dan mulai menyalahkan Allah dengan melupakan bahwa takdir selalu berjalan sesuai dengan apa yang terbaik. Ia mungkin saja bertanya-tanya pada dirinya akan pertanyaan yang tidak ada hubungannya, seperti: mengapa segala sesuatunya berjalan seperti ini? mengapa semua ini terjadi pada saya?

Memercayai Allah tanpa mempedulikan apakah yang terjadi pada diri kita itu baik atau buruk, atau apakah kejadian itu tampaknya menolong atau menjatuhkan, adalah sangat bernilai di mata Allah. Meskipun hanya dengan apa yang tampak dari luar, seseorang haruslah tunduk dengan menyadari bahwa segala sesuatu diciptakan dengan kebaikan dan kebijaksanaan.

"Jika kamu (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejadian dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim." (Ali Imran [3]: 140)

Jadi, semua kesulitan dan masalah itu terjadi sebagai cobaan untuk menentukan siapa yang tetap teguh dalam kesucian diri dan ketundukan kepada Allah.

Mereka yang percaya dengan tulus ikhlas tidak pernah meragukan kebaikan yang tak terbatas atas apa yang terjadi dan selalu percaya kepada Allah dalam kepatuhan total. Mereka menyadari bahwa ini adalah semata-mata ujian. Keimanan mereka tidaklah bersyarat. Keimanan yang teguh dan kuatlah yang mengelilingi segala macam kesulitan yang dihadapi seseorang. Mereka menyerahkan diri kepada Allah tanpa mencari balasan duniawi. Di dalam Al-Qur`an, sikap yang telah ditetapkan atas mukmin sejati untuk kepasrahan total kepada Allah ini telah ditekankan sebagai berikut.

"Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, 'Tunduk patuhlah!' Ibrahim menjawab, 'Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.'" (al-Baqarah [2]: 131)

Dalam ayat lainnya, Allah mengatakan bahwa agama yang paling mulia adalah agama yang diserap oleh mereka yang menyerahkan diri kepada Allah dan hanya percaya kepada-Nya. Allah menggarisbawahi pentingnya kepatuhan yang tidak bersyarat ini,

"Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan dia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangannya." (an-Nisaa` [4]: 125)

Nabi saw. juga mengatakan hal yang sama, "... Orang paling beruntung yang akan memiliki syafaatku di hari perhitungan adalah orang-orang yang mengatakan, 'Tak ada sesuatu pun yang layak disembah selain Allah,' tulus dari dalam hatinya." 3

Berpaling kepada Allah Tak Hanya di Saat Sulit, tetapi dalam Setiap Detik Kehidupan

Selama hidupnya, sebagian orang telah gagal merenungkan tentang Allah yang telah menciptakan mereka dan yang telah mencurahkan keberkahan dunia kepada mereka. Sebagaimana segala sesuatu terungkap dalam kehidupan, mereka cederung melupakan bahwa mereka sebenarnya merupakan makhluk yang lemah dan membutuhkan kasih sayang Allah. Allah adalah satu-satunya kekuatan yang dapat memastikan keberkahan-keberkahan itu dan mengatur segalanya.

Akan tetapi, kenyataan bahwa mereka begitu ceroboh bukanlah berdasar pada keingkaran mereka, melainkan lebih kepada kenyataan bahwa mereka benar-benar tidak bersyukur dan sombong kepada Allah. Bukti yang paling jelas adalah bahwa mereka selalu berpaling kepada Allah dan segera memohon bantuan-Nya saat mereka menghadapi penderitaan atau kesulitan. Mereka yang sebelumnya mengingkari Allah, tiba-tiba mulai beribadah kepada-Nya dan menjadi hambanya yang beriman dan penuh pengabdian.

Allah berkata benar dalam ayat,

"Dan apabila manusia disentuh oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali bertobat kepada-Nya, kemudian apabila Tuhan merasakan kepada mereka barang sedikit rahmat dari-Nya, tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan Tuhannya, sehingga mereka mengingkari akan rahmat yang telah Kami berikan kepada mereka. Maka bersenang-senanglah kamu sekalian kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu)." (ar-Ruum [30]: 33-34)

Sebagaimana disebutkan dalam ayat ini, sesaat mereka membelakangi Allah bukan karena mereka tidak menyadari kekuasaan Allah atau karena tidak mampu memahami bahwa mereka harus menyembah Allah, tetapi karena mereka sombong. Mereka lupa bagaimana seharusnya mereka berlabuh kepada Allah serta memohon pertolongan-Nya dengan tulus dan penuh harap. Mereka kemudian segera kembali kepada keingkaran setelah Allah mencabut kesulitan mereka. Dengan kata lain, mereka berbuat dengan tulus ikhlas hanya saat menghadapi masalah, tetapi mereka tidak ikhlas ketika masalah itu dicabut oleh Allah. Al-Qur`an memberikan contoh orang-orang yang demikian,

"Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdo'a kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata), 'Sesungguhnya, jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.' Maka setelah Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kamilah kembalimu, lalu kami kebarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (Yunus [10]: 22-23)

Sekali saja mereka dapat mengambil bentuk tingkah laku yang lebih tulus jika mereka mau berjanji bahwa mereka akan benar-benar menjadi mukmin sejati, Allah segera menolong mereka. Akan tetapi, setelah mereka mendapatkan pertolongan Allah, mereka berpaling dari-Nya. Allah menyatakan bahwa kedurhakaan ini akan menghancurkan mereka. Ia memberi peringatan kepada mereka akan nasib yang akan mereka terima.

Orang-orang yang suci hatinya, mereka berpaling kepada Allah dengan hati yang terbuka, tak ada perbedaan di dalam sikap dan tingkah laku mereka, baik di waktu sulit maupun lapang. Hal ini karena mereka menyadari sepenuhnya akan kekuatan absolut Allah. Mereka selalu hidup dengan rasa takut dan mengabdi kepada Allah dengan pengabdian sepenuh hati yang tak terbagi. Allah menyatakan bahwa di hari akhir nanti, tidaklah sama balasannya antara orang-orang yang berbuat sesuatu dengan tulus hanya saat mereka menghadapi kesulitan dan orang-orang menyucikan dirinya serta berjuang sepanjang hidup mereka. Mukmin sejati akan dibalas dengan surga, sedangkan yang lainnya akan dihukum dengan neraka. Ayat berikut terkait dengan hal ini.

"Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah di akan kemudharatan yang pernah dia berdo'a (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah, "Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka.' (Apakah kamu, hai orang musyrik, yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, 'Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?' Sesungguhnya, orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (az-Zumar [39]: 8-9)

Tidak Pernah Enggan dalam Mengabdi dan Beribadah kepada Allah

Allah berfirman,

"Di antara manusia ada yang mengatakan, 'Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian,' padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar." (al-Baqarah [2]: 8-9)

Mereka adalah orang-orang yang memiliki keingkaran di hati, meskipun mereka berada di antara mukmin sejati, beribadah bersama mereka, serta menjalin hubungan dengan mereka. Salah satu ciri yang membedakan mereka dari orang-orang beriman kepada Allah adalah bahwa mereka enggan untuk mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Orang-orang beriman adalah laki-laki dan perempuan yang tulus melabuhkan keimanan yang mendalam kepada Allah, yang berpaling kepada-Nya dengan tulus, dan yang menyembah-Nya dengan cinta dan kepatuhan. Dalam ayat lain, Allah menggambarkan balasan yang menanti di hari akhir atas sikap tersebut dan Dia menghadirkan para malaikat sebagai contoh bagi manusia,

"Almasih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah). Barangsiapa yang enggan dari menyembah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya." (an-Nisaa` [4]: 172)

Sebagaimana disebutkan di dalam ayat ini, salah satu ciri keikhlasan dan kebajikan adalah dengan tidak pernah merasa enggan dalam mengabdi dan beribadah kepada Allah. Orang-orang beriman selalu ingin beribadah kepada Allah dalam situasi apa pun. Karena itulah, mereka tidak pernah kehilangan semangat, sekalipun mereka dipaksa untuk mengorbankan hidup dan kekayaan mereka atau menghadapi kesulitan dan kedukaan.

Nabi Muhammad saw. mengingatkan orang-orang beriman akan pentingnya keteguhan dalam menyembah Allah, "Kerjakanlah kebaikan dengan benar, tulus, dan utuh. Dan sembahlah Allah di waktu siang dan malam, dan selalu mengambil jalan pertengahan untuk mencapai tujuanmu (surga)." 4

Al-Qur`an memberikan banyak contoh tentang akhlaq mulia, yang mengungkapkan usaha-usaha yang dilakukan oleh orang-orang beriman ini. Sebagai contoh, ada orang-orang yang berulang-ulang meminta Nabi saw. agar mereka dapat ikut serta berperang, tetapi akhirnya mereka tidak dapat ikut serta. Disebutkan juga tentang mereka yang kembali setelah gagal menemukan apa pun untuk dibelanjakan. Meski orang-orang ini pasti menyadari bahwa mereka akan menghadapi banyak kerugian dalam perang: risiko terbunuh, terluka, dan menderita, mereka tetap ingin ikut serta semata-mata karena keimanan yang tulus serta kesucian diri mereka. Al-Qur`an mengabadikan orang-orang seperti ini dalam ayat,

"Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, 'Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu,' lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan." (at-Taubah [9]: 92)

Al-Qur`an juga mengabarkan contoh-contoh mereka yang berada dalam situasi yang sama, tetapi segan melayani dan mengabdi kepada Allah, agar orang-orang beriman menyadari perbedaan antara dua macam orang. Ayat berikut ini menyatakan,

"Sesungguhnya, jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka itu orang-orang yang kaya. Mereka rela berada bersama-sama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah telah mengunci mata hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka). Mereka (orang-orang munafik) mengemukakan uzurnya kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu telah kembali kepada mereka (dari medan perang). Katakanlah, 'Janganlah kamu mengemukakan uzur; kami tidak percaya lagi kepadamu, (karena) sesungguhnya Allah telah memberitahukan kepada kami di antara perkabaran-perkabaran (rahasia-rahasia)mu. Dan Allah serta Rasul-Nya akan melihat pekerjaanmu, kemudian kamu dikembalikan kepada Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.'" (at-Taubah [9]: 93-94)

Kebalikan dari mukmin yang sejati, mereka adalah orang yang menyatakan dengan lidah mereka bahwa mereka menyembah Allah dan bahwa mereka mematuhi Nabi saw., tetapi mereka meminta untuk tidak dilibatkan dalam peperangan walaupun mereka berkecukupan dari segi harta dan kekayaan. Mereka yang menolak untuk ikut serta dalam peperangan saat kaum muslimin menghadapi kesulitan yang besar, menunjukkan keberanian yang memalukan di hadapan Allah. Kondisi yang sama juga dapat terjadi pada kasus yang lainnya. Haruslah diingat bahwa di dalam ayat-ayat Al-Qur`an, Tuhan kita menunjukkan bahwa hati orang-orang yang lebih memilih untuk menyimpan harta mereka daripada melakukan sesuatu yang dapat membawa mereka kepada keridhaan Allah dan menolong serta menyokong saudara mereka seislam, sudah terkunci.

Keikhlasan Perlu Dimurnikan

Salah satu ciri yang paling penting yang ada pada diri mukmin yang sejati dan ikhlas adalah bahwa ia dengan tulus ingin dan berusaha untuk menyucikan dirinya dari segala jenis tingkah laku dan akhlaq yang dilarang oleh Al-Qur`an demi memperoleh keridhaan Allah. Manusia diciptakan cenderung untuk berbuat salah, namun Allah menyatakan dalam ayat terpisah bahwa Dia telah melengkapi jiwa manusia tidak hanya terbatas dengan dosa dan kejahatan, tetapi juga dengan cara-cara untuk menghindarinya.

"Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." (asy-Syams [91]: 7-10)

Dengan rasa takut kepada Allah, setiap mukmin sejati ingin selalu menyucikan diri dari sisi jahat jiwanya. Ia berusaha untuk mendapatkan keagungan ahklaq sebagaimana yang dijelaskan di dalam Al-Qur`an, dengan menggunakan kesadaran dan kecerdasannya dengan sebenar-benarnya. Usaha serius apa pun yang dilakukan oleh seseorang yang tulus hati menginginkan kesucian diri, adalah tanda keimanan sejati dan kesuciannya.

Hanya orang yang memiliki keimanan yang mutlak pada Allah dan hari akhirlah yang akan berusaha menghilangkan sisi jahat jiwanya. Sebaliknya, orang yang tidak benar-benar percaya kepada Allah dan hari akhir akan menafikan adanya sisi jahat dalam jiwanya dan berusaha menutupinya dari orang lain. Ia berharap tak akan ada yang mengetahui perbuatan jahatnya. Akan tetapi, Allahlah yang paling tahu lahir dan batin setiap orang. Allah paling tahu rahasia yang paling rahasia. Pada hari pembalasan, semua perbuatan yang dilakukan oleh setiap manusia akan terungkap. Mukmin yang ikhlas yang menyadari hal ini akan ditolong oleh usaha mereka melawan hawa nafsu. Di dalam Al-Qur`an, gambaran usaha mereka dipaparkan sebagai berikut.

"Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya, masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih." (at-Taubah [9]: 108)

Berusaha Bersama-sama dan Melakukan Perbuatan Baik Terus-menerus

Di dalam ayat berikut, Allah menyatakan bahwa perbuatan baik yang dilakukan terus-menerus adalah lebih baik ganjarannya di sisi Allah.

"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan." (al-Kahfi [18]: 46)

Perbuatan tersebut juga merupakan tanda keikhlasan dan kesucian seseorang. Sebagian orang dapat melakukan perbuatan baik, tetapi bukan karena mereka takut kepada Allah, melainkan ingin mendapatkan kehormatan dan pujian di mata manusia. Sebagai contoh, seseorang yang mengirimkan barang-barang dan pakaiannya untuk orang-orang yang kehilangan tempat tinggal karena gempa bumi. Ia mungkin saja membantu tetangganya, atau bersikap baik, sayang, dan baik budi. Ia mungkin juga ramah, lembut, dan memahami karyawannya. Ia mungkin hormat dan penuh toleransi kepada orang yang lebih tua. Jika perlu, ia bisa saja mengorbankan dirinya, ikut serta dalam kegiatan kemanusiaan. Semua itu adalah perbuatan yang baik. Bagaimanapun juga, apa yang benar-benar penting adalah keteguhan dan kesabaran yang ditunjukkan saat melakukan perbuatan tersebut. Sepanjang hidupnya, setiap muslim yang telah menyucikan dirinya harus membantu siapa pun yang membutuhkan, tanpa memperhatikan pendapat orang lain tentang dirinya. Usaha-usaha yang dilakukan hanya untuk mendapatkan keridhaan Allah ini juga dilaksanakan untuk membuktikan tingkat keikhlasan mereka. Bagaimanapun juga, jika orang tersebut gagal membawa dirinya kepada ajaran moral yang disebutkan di atas dan untuk bersikap dalam sikap pengabdian dan pengorbanan diri yang sama, kesucian yang akan didapatnya saat melakukan perbuatan lain akan mudah hilang.

Demikian pula, ada sebagian orang dalam masyarakat jahil yang mampu melakukan perbuatan baik, bahkan meski mereka tidak percaya kepada Allah. Akan tetapi, mereka melakukan perbuatan tersebut bukan karena rasa takut mereka kepada Allah atau dalam harapan mereka akan hari akhirat. Mereka bertujuan untuk mendapatkan balasan dan keuntungan dunia, besar maupun kecil. Sebagai contoh, mereka mungkin membantu korban gempa bumi hanya untuk membuang barang-barang mereka yang sudah tak terpakai. Begitu pula, rasa hormat yang ditunjukkan terhadap orang yang lebih tua mungkin hanya semata-mata karena pengaruh tradisi budaya. Demikian pula, ia mungkin saja memperlakukan karyawannya begitu ramah hanya untuk membuat mereka lebih giat bekerja dan menghasilkan pendapatan yang lebih. Ia mungkin memberikan bantuannya untuk menolong organisasi kemanusiaan untuk mendapatkan kehormatan dan harga diri dalam masyarakat. Untuk dapat memastikan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan karena rasa takutnya kepada Allah dan ajaran akhlaq mulia yang diperintahkan Allah, orang tersebut harus menggunakan upaya yang sama dalam setiap detik kehidupannya dan terus-menerus bersikap sesuai dengan prinsip Al-Qur`an. Pentingnya berpaling kepada Allah setiap pagi dan petang, terus-menerus setiap hari, ditekankan dalam ayat,

"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharapkan keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (al-Kahfi [18]: 28)

Jika seseorang dengan tulus meyakini keberadaan Allah dan hari akhir, ia tidak akan berbuat sebaliknya. Karena itu, ia tahu pasti bahwa ia bertanggung jawab akan setiap detik kehidupannya di dunia dan ia layak mendapatkan kehidupan yang abadi di surga-Nya hanya jika ia menjalani kehidupan dengan mengikuti keridhaan Allah. Ia bersegera melakukan perbuatan baik untuk mendapatkan ridha Allah dalam setiap perbuatan, perkataan, dan sikapnya. Dengan bertanya pada diri sendiri, "Apa yang dapat saya lakukan?", "Bagaimana seharusnya saya bersikap agar Allah ridha dan sayang?', "Sikap apa yang harus saya perbaiki agar tingkah laku saya lebih baik?", dan ia berusaha dengan sungguh-sungguh. Demikian pula disebutkan di dalam Al-Qur`an bahwa tingkah laku mereka yang berusaha, sebagaimana mereka seharusnya berusaha, diberi ganjaran yang besar. Dinyatakan dalam ayat,

"Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik." (al-Israa` [17]: 18-19)

Mengabdi dan Terus Berusaha Menjadi Orang yang Benar

Allah menekankan dalam ayat-ayat Al-Qur`an bahwa akhlaq Ilahiyah harus diaplikasikan ke dalam setiap bagian hidup seorang mukmin sejati. Seseorang harus hidup sebagai orang mukmin, berbicara dan berpikir sebagai seorang muslim. Sejak saat ia membuka matanya di pagi hari hingga saat ia tidur di malam hari. Ia harus berusaha menuju kesucian, berniat untuk selalu berlaku ikhlas dan jujur kepada Allah, dan selalu menggunakan kesadaran dan kemauannya dengan sebaik-baiknya hingga akhir nanti.

Sebagian orang berusaha untuk membatasi agama pada ritual-ritual tertentu. Mereka yakin bahwa kehidupan spiritual mereka harus dipisahkan dari kehidupan dunia. Entah bagaimana, mereka melihat ide tersebut logis dan masuk akal. Mereka mengingat Allah dan hari akhir hanya saat mereka melakukan shalat, puasa, bersedekah, atau ketika melakukan haji. Di lain waktu, mereka terbawa pada kerumitan urusan dunia. Mereka melupakan Allah dan balasan yang akan diterimanya di hari pembalasan. Mereka tidak peduli pada usaha untuk menggapai ridha Allah dan gagal berjuang hingga akhirnya.

Mereka tidak menyadari bahwa mereka juga diharapkan untuk berpikir agamis pada saat berjalan, makan, bekerja di kantor, berolah raga, berbicara dengan orang lain, melakukan transaksi, menonton televisi, berbicara tentang politik, mendengarkan musik, dan sebagainya. Saat mereka mengira bahwa hal-hal tersebut hanyalah masalah duniawi, mereka cenderung percaya bahwa rencana-rencana mereka pun seharusnya bersifat keduniawian. Akan tetapi, seseorang dapat menyempurnakan akhlaq sesuai dengan Al-Qur`an dan mendapat keikhlasan saat berhubungan dengan hal-hal tersebut di atas. Ia dapat menunjukkan perhatian dalam tugas-tugasnya dan penuh perhatian saat berbicara dengan orang lain, makan, berolah raga, bersekolah, bekerja, tengah membersihkan sesuatu, menonton TV, atau mendengarkan musik. Ia harus berusaha mendapatkan berkah Allah saat melakukan semua aktivitas tersebut.

Semua tingkah laku yang menjadikan Allah ridha dijelaskan secara rinci dalam banyak ayat Al-Qur`an. Banyak rincian tentang bagaimana berbuat adil dalam jual beli, tidak mengambil harta yang tidak halal, memberikan takaran dan timbangan yang tepat, dan sebagainya, telah dijelaskan di dalam Al-Qur`an. Ketika seseorang hidup dengan rasa takut kepada Allah dan melakukan perbuatan sesuai dengan ayat-ayat tersebut, ia melakukan jual beli untuk memenuhi keridhaan dan keikhlasan kepada Allah. Demikian pula, menahan diri dari perkataan kotor, tidak tinggal diam ketika orang lain menghina Al-Qur`an, dan berbicara dengan jujur dan bijaksana, semua itu adalah bagian dari akhlaq agung yang disebutkan di dalam Al-Qur`an. Karena itulah, seharusnya tidak ada seorang pun yang salah mengartikan bahwa agama hanyalah terdiri atas ritual-ritual agama dan bahwa keikhlasan hanya bisa didapatkan dengan melakukan ritual-ritual tersebut. Karena rumitnya kehidupan duniawi kita, manusia bertanggung jawab untuk terlibat dalam berbagai hal. Yang penting adalah bahwa seseorang harus selalu menempatkan Allah di dalam hatinya. Ia harus mencari keridhaan Allah di dalam setiap perbuatannya, tidak mengorbankan ajaran moral Al-Qur`an, serta menjaga kesuciannya.

Pandai Menguasai Diri, Ikhlas, dan Dapat Dipercaya

Seseorang yang secara konsisten berbuat ikhlas akan terlihat bersifat baik dan bersungguh-sungguh. Mereka yang hanya ingin mendapatkan keridhaan Allah dan tidak mencari balasan duniawi, tidak akan pernah menjadi orang yang palsu, penuh tipu daya, tidak ikhlas, dan tidak wajar. Ia bersikap baik, demikian pula perbuatan dan ucapannya. Hal ini karena ia tidak akan berusaha memengaruhi orang lain atau terlalu ambisius. Ia akan cepat disukai dan membuat orang lain merasa nyaman dengannya. Karena ia hanya ingin mendapatkan keridhaan Allah, ia menyadari sepenuhnya bahwa sifat-sifat menipu yang dilakukan untuk mendapatkan pengaruh pada orang lain akan merusak ketulusan hatinya. Ia akan merasa nyaman dan damai karena mengetahui bahwa Allah adalah satu-satunya teman baik dan satu-satunya pelindung.

Seseorang yang dengan teguh menjaga kesucian dan ketulusannya, berharap agar Allah akan menerima setiap perbuatannya sebagai orang yang saleh dan membalasnya dengan imbalan yang berlimpah, baik di dunia maupun di akhirat.

Menjadi Pribadi yang Ikhlas

Menjadi Pribadi yang Ikhlas


asilearning- Hati yang bersih akan melahirkan keikhlasan. Satu upaya batin yang hanya dengannya Allah akan menerima sebuah amalan. Hati yang bersihlah yang akan melahirkan pribadi-pribadi yang ikhlas. Pribadi yang hanya mengharapkan ridha Allah sebagai imbalan atas ibadahnya.

Namun setiap sesuatu yang bersih bisa jadi ternoda, begitu pun juga hati manusia. Kebersihan atau keikhlasan hati manusia sangat rentan dari noda-noda, yang karenanya akan mengganggu keikhlasan dalam pengabdian kepada Allah SWT.

Puasa yang oleh Allah dikatagorikan sebagai peringkat ketiga obat penyakit hati setelah sholat dan zakat, adalah obat yang ampuh dalam memerangi kotoran-kotoran hati. Ibarat kolam, puasa merupakan tempat untuk membersihkan diri dari daki-daki yang melekat dalam hati manusia, yang akan mengganggu kebersihan hati tadi.

Kalau sebuah amalan ternodai keikhlasannya, maka amalan tersebut tidak diterima. Demikian pendapat ulama yang mengatakan bahwa syarat diterimanya sebuah amal ibadah adalah bila amal itu dilakukan dengan ikhlas mengharap ridha Allah semata, dan yang kedua adalah amalan itu dilakukan berdasarkan syariat yang telah ditentukan Allah atau pun sunnah dari Rasulullah Muhammad SAW.

Karena pada dasarnya keduanya merupakan hal yang saling berkaitan erat. Ikhlas merupakan amalan batin ,sementara syariat atau sunnah Rasulullah adalah amalan zahir.

Sebagaimana sabda Rasulullah:

Allah tidak menerima amal, kecuali amal yang dikerjakan dengan ikhlas karena Dia semata-mata dan dimaksudkan untuk mencari keridhaan-Nya (HR. Ibnu Majah).

Dari hadits Rasulullah diatas, memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa ikhlas merupakan faktor penentu dalam setiap amalan. Agar segala perbuatan yang dilakukan diterima oleh Allah. Ketika kita berniat untuk melakukan sebuah pekerjan, atau sebuah amalan untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT misalnya, dan ternyata ketika melakukannya ada motivasi lain yang membangkitkannya, maka apa yang kita lakukan sebenarnya tidak lagi dalam konteks ikhlas.

Misalnya saja ketika melakukan puasa. Yang terlintas di pikiran kita adalah dengan puasa itu kita berharap akan mendapatkan perlindungan dan kekuatan bukan untuk bertaqqarub kepada Allah, maka puasa itu bisa jadi telah tercampur dengan unsur syirik.

Begitupun ketika melakukan sholat ,dan kemudian ternyata apa yang kita lakukan sesungguhnya karena keinginan mendapatkan pujian dari orang-orang yang melihat sholat kita, atau keinginan untuk dikatakan sebagai orang yang paling khusuk, maka ibadah kita telah tercemar dengan kotoran-kotaran hati yang sangat berbahaya,

Allah befirman:

" ... Dan apabila mereka berdiri untuk sholat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud untuk riya' dengan sholat di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali." (Qs.An Nisaa':142)

Kecuali bila ketika kita melakukan ibadah puasa untuk bertaqarrub kepada Allah. Dan ternyata dengan puasa itu didapatkan perlindungan atau kekuatan, atau kesehatan yang semakin prima, bahkan kemudian dengan kesehatan yang prima itu kemudian bisa menambah kualitas dan kuantitas ibadah yang lain, maka insya Allah pahala yang didapat akan menjadi semakin berlipat.

Begitu mudahnya keikhlasan mengalami kontaminasi dengan penyakit yang lain, maka betul-betul dibutuhkan tajarrud (kesungguhan) dari pribadi-pribadi muslim untuk senantiasa mengevaluasi amalan-amalan yang akan, sedang dan telah dilakukannya, agar ujub atau riya' atau penyakit hati yang lainnya tidak merusak nilai-nilai amalan kita di hadapan Allah.

Ibnu Sa'ad menyebutkan dalam kitab Thabaqaat dari Umar Ibn Abdul Azis, bahwa bila beliau berkutbah di atas mimbar dan kemudian tiba-tiba terlintas dalam pikirannya keinginan untuk mendapat pujian dari orang lain atas kepandaiannya berbicara, maka beliau segera menghentikan pidatonya. Begitupun ketika beliau sedang menulis kitab dan takut akan rasa ujub terhadap dirinya sendiri, maka beliau segera merobeknya dan berkata, "Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejelekkan diriku sendiri."

Demikian berhati-hatinya ulama semacam Ibnu Sa'ad menjaga keikhlasan hatinya, pantas menjadi tauladan bagi setiap muslim yang berkeinginan menjadi seorang mukhlisin.Beliau menyadari betul bahwa penyakit hati smeacam riya' dan ujub akan mengotori keihlasan dalam beramal.Sehingga ketika perasaan itu muncul dengan serta merta beliau menghentikannya.

Rasulullah memberikan tauladan kepada kita berlindung kepada Allah atas penyakit hati itu dengan doa sebagai berikut:

"Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari mensekutukan-Mu, sesuatu yang kami tidak mengetahuinya dan kami memohon ampunan kepada-Mu dari sesuatu yang kami tidak mengetahuinya."

Do'a ini juga merupakan sebuah upaya agar Allah SWT senantiasa meluruskan niatan kita, dan menjauhkan dari penyakit-penyakit hati yang berupa riya' yang juga dikenal sebagai syirik kecil, juga penyakit hati yang lain semacam ujub, yakni bangga terhadap diri sendiri.

Sabda Rasulullah:

Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syirik yang kecil. Sahabat bertanya: "apakah syirik yang kecil itu ya Rasulullah?". Rasulullah menjawab: "Riya" (HR. Ahmad).

Jangan sampai kita lengah terhadap adanya penyakit-penyakit hati yang senantiasa berlindung di dalam hati kita, karena adanya penyakit itu bisa menjadikan Allah tidak menerima amalan-amalan yang telah kita lakukan.

Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima),seperti orang yang menafkahkan hartanya kepada manusia dan dia tidak berimana kepada Allah dan hari kemudian..." (Qs.2:264)

Insya Allah dengan menyadari betapa keikhlasan dalam beramal sangat mempengaruhi diterima tidaknya amalan ibadah kepada Allah. Dan sebaliknya, dengan adanya penyakit hati yang mengiringi setiap amalan akan merusak dan menghilangkan amalan itu sendiri di hadapan Allah, maka akan memberi motivasi kepada kita semuanya, untuk senantiasa berupaya menjadikan diri kita sebagai pribadi-pribadi yang mukhlish. Allahu a'lam bishowab.


Moh. Agus salim el Bahri